IPS

Pertanyaan

Apa peran bung karno di dalam pertempuran di surabaya

1 Jawaban

  • Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia untuk turun tangan guna menghentikan pertempuran.
    Singkat cerita, Soekarno menyetujui permintaan itu. Akhirnya, bersama Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, Soekarno datang ke Surabaya. Mereka menumpangi pesawat yang disediakan oleh tentara Inggris.
    Di Surabaya, dengan sebuah jeep pinjaman Inggris, Soekarno berkeliling menyerukan gencatan senjata. Ini tindakan yang sangat berani: walaupun berstatus Presiden, tetapi wajah Soekarno belum tentu dikenal oleh keseluruhan pemuda dan rakyat di Surabaya. Apalagi, banyak diantara pemuda dan rakyat itu baru pertamakali memegang senapan.
    “Ini Presiden Republik Indonesia, Soekarno, memerintahkan berhenti, supaya jangan dilanjutkan pertempuran itu,” kata Soekarno melalui corong pengeras suara.
    Singkat cerita, Soekarno yang saat itu baru pertamakalinya ke Surabaya sebagai Presiden, berhasil menghentikan pertempuran. Perintahnya didengar oleh rakyat. Sesuatu yang agak sulit terjadi di negeri yang baru sekali merdeka: baru berusia satu setengah bulan.
    Namun, tindakan Soekarno menghentikan pertempuran heroik itu bukan tanpa kritik. Banyak yang menganggap Soekarno melakukan kesalahan fatal karena menghentikan pertempuran. Bagi mereka, tindakan Soekarno itu memupuskan kemenangan pemuda dan rakyat Surabaya yang sudah di depan mata.
    “Kalau umpamanya 3 jam kemudian Bung Karno baru datang menghentikan pertempuran, Komandan korps Tentara Inggris itu sudah menaikkan bendera putih untuk menyelamatkan tentaranya yang masih hidup,” kata Soemarsono, salah seorang tokoh yang mengambil peran memimpin dalam pertempuran itu dalam memoarnya, Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah .
    Saat itu Soemarsono menjabat ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), sebuah organisasi yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya. Organisasi ini punya peranan besar dalam perjuangan rakyat Surabaya antara September-November 1945.
    Pada saat Soekarno berkeliling menghentikan pertempuran, Soemarsono sedang bertempur di daerah Wonokromo. “Saya sedang rame-ramenya bertempur, kemudian saya mendengar disuruh menghentikan pertempuran,” kenang Soemarsono.
    Soemarsono tak terima perintah itu. Baginya, pasukan Inggris sudah terdesak; kemenangan sudah di depan mata. Ia pun masuk kota untuk menghalangi perintah gencatan senjata itu. Di jalan ia berpapasan dengan rombongan Soekarno. Termasuk Brigjend AWS Mallaby di dalamnya.
    Soemarsono berdiri tengah jalan menghadang konvoi. Di depan Soekarno ia menumpahkan kemarahannya. “Ini kita dalam keadaan sudah unggul kok diberhentikan? Kalau kita kepepet diberhentikan, ya, bagus. Tapi ini kita sedang unggul,” kata Soemarsono kepada Soekarno.
    Soekarno diam saja. Tapi tiba-tiba Amir Sjarifuddin yang keluar dari mobil dan merangkul Soemarsono. “Ini sudah didiskusikan oleh kawan-kawan, oleh kami, sudah keputusannya begini,” bisik Amir ke telinga Soemarsono kala itu.
    Soemarsono tidak mendebat. Ia hanya tertunduk mendengar bisikan Amir tersebut. Selain sebagai menteri Pertahanan, Amir Sjarifuddin adalah bekas pimpinan Soemarsono di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Namun, tidak jelas keputusan siapa yang dimaksud Amir: keputusan kolektif pemerintah kah? keputusan para pemuda revolusioner di Menteng 31 kah? atau keputusan PKI bawah tanah?
    Singkat cerita, Soemarsono tunduk pada keputusan itu. Ia kemudian diboyong ke Jalan Mawar, tempat corong radio yang sehari-harinya digunakan oleh Bung Tomo berpidato, untuk menyerukan penghentian tembak-menembak.
    Belakangan, melalui buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Soemarsono menyadari bahwa memenangkan pertempuran belum tentu memenangkan politik. Maksudnya, pemuda dan rakyat Surabaya bisa memenangi pertempuran, tetapi secara politik mereka kalah. Bukankah pertempuran hanya salah satu jalan dari perjuangan politik?
    Soemarsono sendiri menyadari, dengan mematuhi seruan gencatan senjata dari Soekarno, bangsa Indonesia menang secara politik: Soekarno selaku Presiden dipatuhi oleh rakyatnya. Ini syarat mutlak berdirinya sebuah negara: pengakuan rakyatnya.
    Ini sekaligus mematahkan tudingan Inggris, termasuk kolonialis Belanda di belakangnya, bahwa pemerintahan Republik Indonesia yang baru berdiri tidak bisa mengontrol keadaan.

Pertanyaan Lainnya